Monday 15 November 2010

Etika Profesi Akuntan: Contoh kasus pelanggaran kode etik akuntan

Sebagai profesi penyedia jasa pelaporan keuangan dan audit, profesi akuntan dituntut tidak hanya loyal terhadap kepentingan klien atau tempat akuntan tersebut bekerja, tapi juga terhadap kepentingan yang lebih luas bagi para stake holders atau pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini sering kali terjadi benturan kepentingan antara keduanya. Selain itu, semakin ketatnya persaingan baik antar KAP maupun profesi akuntan secara umum membuat akuntan seringkali melakukan tindakan-tindakan yang melanggar baik kode etik ataupun hukum. Berikut akan dibahas sebuah contoh kasus mengenai pelanggaran kode etik akuntan dan persaingan bisnis.
Contoh Kasus :
Jasa Audit di PT.Telekomunikasi Indonesia
Pembacaan Putusan terhadap Dugaan Pelanggaran UU No. 5/1999
yang dilakukan oleh KAP Drs. Hadi Sutanto & Rekan
(KAP Pricewaterhouse Coopers)


Tidak lebih dari 8 bulan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan pemeriksaan dan menyusun putusan terhadap perkara No: 08/KPPU-L/2003 yaitu dugaan pelanggaran UU No: 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs. Hadi Sutanto & Rekan -sekarang bernama KAP Haryanto Sahari & Rekan- yang merupakan member firm dari Kantor Akuntan Publik Asing Pricewaterhouse Coopers (PwC) yang selanjutnya disebut Terlapor. 


Perkara ini muncul setelah adanya laporan yang pada pokoknya tindakan Terlapor dengan sengaja memberikan interpretasi yang menyesatkan kepada PT. Telkom, PT. Telkomsel, dan US SEC mengenai Standar Audit Amerika khususnya AU 543. Tindakan Terlapor tersebut mengakibatkan rusaknya kualitas audit yang dilakukan oleh KAP Eddy Pianto atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT. Telkom tahun Buku 2002 sehingga menghalangi KAP Eddy Pianto untuk bersaing dengan Terlapor sehubungan dengan penyediaan layanan audit ke perusahaan-perusahaan besar yang tercatat di lantai bursa (BEJ).


Pada pemeriksaan pendahuluan, Tim Pemeriksa telah mendengar keterangan dari Pelapor -identitas dirahasiakan sesuai dengan Pasal 38 UU No: 5 Tahun 1999- dan Terlapor; hasilnya Tim Pemeriksa menemukan adanya indikasi pelanggaran terhadap Pasal 19 huruf a dan huruf b UU No: 5 Tahun 1999 sehingga perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan lanjutan. Pada pemeriksaan lanjutan, Majelis Komisi telah mendengar keterangan para Saksi di bawah sumpah, Ahli, dan Terlapor, serta memberikan kesempatan kepada Pelapor dan Terlapor untuk menyampaikan data dan/atau informasi dan/atau tanggapan yang relevan dengan pemeriksaan, dan Majelis Komisi telah menerima tanggapan tertulis dari Pelapor dan Terlapor. 


Inti permasalahan dari perkara ini adalah Terlapor -yang mengaudit Laporan Keuangan PT. Telkomsel Tahun Buku 2002- tidak bersedia terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy Pianto karena Terlapor menghindari risiko yang dapat merugikan jika terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy Pianto. Ketidaksediaan Terlapor karena keraguan kelayakan hak berpraktek KAP Eddy Pianto dihadapan US SEC serta meminta kesempatan untuk membaca dan atau me-review seluruh copy Form 20-F PT. Telkom sebelum diajukan ke US SEC. Untuk itu Terlapor menolak hasil auditnya untuk diacu dalam pekerjaan audit KAP Eddy Pianto dalam Form 20-F PT. Telkom. KAP Eddy Pianto tetap mengacu kapada hasil audit Terlapor dan menyelesaikan audit Laporan Keuangan Konsolidasi PT. Telkom. Sementara itu, untuk tetap tidak terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy Pianto, Terlapor tidak memberi ijin laporan auditnya dilampirkan dalam Form 20-F PT. Telkom.


Menurut Majelis Komisi, Terlapor tidak memiliki kewenangan untuk menilai kualifikasi KAP Eddy Pianto untuk berpraktek di hadapan US SEC. Kewenangan tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan US SEC, untuk itu seharusnya Terlapor meminta klarifikasi kepada US SEC. Dan hal ini tidak pernah dilakukan oleh Terlapor, akan tetapi telah melakukan penilaian mengenai kualifikasi KAP Eddy Pianto. Dengan demikian, tindakan Terlapor tidak berdasar hukum dan tidak wajar.


Terlapor mendasarkan Standar Audit SAS 8-merupakan standar audit yang berlaku di Amerika Serikat (AS) mengenai informasi lain dalam dokumen yang berisi laporan keuangan auditan- dalam kewajibannya untuk membaca terlebih dahulu Form 20-F PT. Telkom secara keseluruhan adalah tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan berlebihan. Karena, SAS 8 hanya mengatur hubungan antara auditor dengan auditan/kliennya, dan tidak mengatur hubungan antara auditor dengan pihak lain selain auditan/kliennya. PT. Telkom bukanlah auditan/klien dari Terlapor dan Form 20-F adalah dokumen lain yang diterbitkan oleh PT. Telkom dalam rangka filing ke US SEC. Form 20-F PT. Telkom, tidak hanya memuat keterangan-keterangan yang berkaitan dengan auditan/klien dari Terlapor namun juga memuat keterangan-keterangan yang tidak berkaitan dengan auditan/klien dari Terlapor.


Alasan Terlapor mengenai risiko bila terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy Pianto dalam rangka filing Form 20-F PT. Telkom yang cacat dapat mengakibatkan Terlapor dihukum atau ditolak baik secara sementara maupun permanen oleh US SEC didasarkan pada ketentuan 17 C.F.F § 102 (e) The Commission Rules of Practice adalah tidak tepat. Terlapor salah menerapkan ketentuan tersebut karena ketentuan tersebut hanya berlaku bagi profesional yang berpraktek di hadapan US SEC dalam rangka mewakili pihak lain untuk menyampaikan pemberitahuan, permohonan, laporan, pernyataan pendaftaran, dan dokumen lain. Sedangkan dalam rangka filing Form 20-F PT. Telkom, Terlapor tidak dalam kapasitas mewakili pihak manapun untuk berpraktek di hadapan US SEC. Terlapor adalah subyek hukum badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sehingga tidak terikat oleh ketentuan yang berlaku di AS tersebut. Sedangkan PwC, LL.P. -PwC berkedudukan di AS- tidak terasosiasi dengan audit yang dikerjakan oleh Terlapor dan oleh karenanya juga tidak terasosiasi dengan filing Form 20-F PT. Telkom. Tindakan Terlapor lebih banyak dipengaruhi oleh afiliasinya (PwC, LL.P.) yang kemudian mencampuradukkan ketentuan yang berlaku di AS tersebut.


Menurut Terlapor, berdasarkan AU 543, KAP Eddy Pianto harus meminta ijin kepada Terlapor sebelum mengacu kepada hasil audit atas Laporan Keuangan PT. Telkomsel Tahun Buku 2002. AU 543 paragraf 7 tidak mengharuskan auditor utama mendapatkan persetujuan auditor lain apabila auditor utama mengacu pada hasil audit dari auditor lain tersebut. Persetujuan tersebut diperlukan bila auditor utama menyebutkan nama auditor lain dan laporannya disajikan bersama laporan auditor utama. KAP Eddy Pianto mengacu hasil audit Terlapor tanpa menyebutkan nama Terlapor, sehingga penolakan Terlapor agar hasil auditnya diacu oleh KAP Eddy Pianto adalah tidak berdasar hukum dan tidak wajar.


Berdasarkan AU 543 paragraf 7 terdapat catatan kaki nomor 3 yang pada pokoknya menyatakan keperluan filing ke US SEC harus merujuk kepada Regulation S-X 205 yaitu bila auditor utama mengacu kepada pekerjaan auditor lain, maka laporan audit dari auditor lain tersebut harus disampaikan oleh perusahaan (registrant) ke US SEC dalam rangka filing Form 20-F. Untuk itu PT. Telkom berkewajiban melampirkan laporan audit Terlapor dalam Form 20-F yang disampaikan ke US SEC, dan KAP Eddy Pianto telah mengingatkan PT. Telkom perihal tersebut, namun PT. Telkom berpendapat tidak memerlukan ijin dari Terlapor untuk melampirkan laporan audit Terlapor dalam Form 20-F, dan Terlapor juga tidak memberi ijin laporan auditnya dilampirkan dalam Form 20-F PT. Telkom karena tidak mau terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy Pianto. Oleh karena itu tindakan Terlapor berupa tidak memberikan ijin pelampiran sebagai upaya tidak terasosiasi adalah tidak berdasar hukum dan tidak wajar.


Tindakan Terlapor menyebabkan competitive harm dan consumer harm. Bagi KAP Eddy Pianto, yaitu menimbulkan pernilaian bahwa KAP Eddy Pianto tidak dapat menyelesaikan dan tidak mampu melakukan pekerjaan audit terhadap Laporan Keuangan PT. Telkom tersebut. Penilaian tersebut berakibat menurunkan reputasi KAP second layer pada umumnya di mata perusahaan pengguna jasa audit first layer, sehingga pilihan perusahaan pengguna jasa audit first layer tetap terkonsentrasi pada KAP first layer. Bagi PT. Telkom, sebagai pengguna jasa audit terpaksa harus mengeluarkan tambahan waktu, tenaga, dan biaya yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan bila proses pelaksanaan audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT. Telkom Tahun Buku 2002 berjalan normal/tidak terganggu oleh tindakan Terlapor. Seluruh tambahan biaya yang dikeluarkan oleh PT. Telkom untuk melaksanakan audit Laporan Keuangan tersebut menjadi beban PT. Telkom dan merugikan pemegang saham PT. Telkom. Tidak dapat masuknya KAP Eddy Pianto ke dalam pasar bersangkutan menyebabkan pilihan bagi perusahaan pengguna jasa audit first layer tidak bertambah, sehingga menghilangkan potensi harga jasa audit yang lebih bersaing di pasar bersangkutan.
Berdasarkan fakta dan kesimpulan, Majelis Komisi memutuskan menyatakan Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 19 huruf a dan huruf b UU No: 5/1999, dan menghukum Terlapor membayar denda sebesar Rp20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah).

Pemeriksaan dan penyusunan putusan terhadap perkara tersebut di atas dilakukan oleh KPPU dengan prinsip independensi-tidak memihak siapapun- semata-mata sebagai pengemban amanat pengawasan terhadap pelaksanaan UU No: 5/1999 agar terwujudnya kepastian berusaha yang sama bagi setiap pelaku usaha dan menjamin persaingan usaha yang sehat dan efektif.
Jakarta, 24 Juni 2004Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Sumber
     Pada contoh kasus diatas, kita dapat melihat bahwa telah  terjadi pelanggaran kode etik dan praktik persaingan tidak sehat antar KAP. KAP Drs. Hadi Sutanto & Rekan -yang mengaudit Laporan Keuangan PT. Telkomsel Tahun Buku 2002- tidak bersedia terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy Pianto untuk menghindari risiko yang dapat merugikan jika terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy Pianto dan menolak hasil auditnya untuk diacu dalam pekerjaan audit KAP Eddy Pianto dalam Form 20-F PT. Telkom karena karena keraguan kelayakan hak berpraktek KAP Eddy Pianto dihadapan US SEC. Kejadian ini dianggap melanggar kode etik karena KAP Drs. Hadi Sutanto  & Rekan tidak memiliki kewenangan untuk menilai kualifikasi KAP lainnya (Eddy Pianto) untuk berpraktek di hadapan US SEC.
     Tindakan KAP Drs. Hadi Sutanto & Rekan menyebabkan persaingan tidak sehat berupa menyebabkan competitive harm dan consumer harm. Bagi KAP Eddy Pianto, yaitu menimbulkan pernilaian bahwa KAP Eddy Pianto tidak dapat menyelesaikan dan tidak mampu melakukan pekerjaan audit terhadap Laporan Keuangan PT. Telkom tersebut. Penilaian tersebut berakibat menurunkan reputasi KAP second layer  (KAP Eddy Pianto) pada umumnya di mata perusahaan pengguna jasa audit first layer (Drs. Hadi Sutanto & Rekan), sehingga pilihan perusahaan pengguna jasa audit first layer tetap terkonsentrasi pada KAP first layer. Hal ini jelas menggambarkan persaingan yang tidak sehat antar KAP. Kejadian tersebut tidak hanya merugikan KAP Eddy Pianto tapi juga merugikan PT. Telkom, sebagai pengguna jasa audit terpaksa harus mengeluarkan tambahan waktu, tenaga, dan biaya yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan bila proses pelaksanaan audit berjalan normal. 
     Kejadian diatas hanya salah satu contoh pelanggaran kode etik dalam dunia akuntan. Dalam menghadapi keadaan seperti ini, akuntan perlu untuk terus berpegang pada kode etik profesi akuntan dan bila kode etik tidak dapat memberikan pengarahan yang jelas maka akuntan harus kembali pada etika dan nilai-nilai yang Ia percayai.

2 comments:

  1. Ditunggu tulisan yang lain tentang akuntansi

    ReplyDelete
  2. kenapa kamu ga melanjutkan tulisan kamu lagi?

    ReplyDelete